PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP KONSUMEN
YANG
MENDERITA KERUGIAN DALAM TRANSAKSI PROPERTI
MENURUT
UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
(Studi Pada Pengembang Perumahan PT. Fajar Bangun
Raharja Surakarta)
Harjono
1.1 PENDAHULUAN
Pada tanggal 20
April 1999 diundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK), yang mulai efektif berlaku pada 20 April 2000. Apabila dicermati muatan
materi UUPK cukup banyak mengatur perilaku pelaku usaha. Hal ini dapat dipahami
mengingat kerugian yang diderita konsumen barang atau jasa sering kali merupakan
akibat perilaku pelaku usaha, sehingga wajar apabila terdapat tuntutan agar perilaku
pelaku usaha tersebut diatur, dan pelanggaran terhadap peraturan tersebut
dikenakan sanksi yang setimpal. Perilaku pelaku usaha dalam melakukan strategi
untuk mengembangkan bisnisnya inilah yang seringkali menimbulkan kerugian bagi konsumen.
Berkaitan dengan
strategi bisnis yang digunakan oleh pelaku usaha, pada mulanya berkembang
adagium caveat emptor (waspadalah konsumen), kemudian berkembang menjadi
caveat venditor (waspadalah
pelaku usaha). Ketika strategi bisnis berorientasi pada kemampuan menghasilkan
produk (production oriented), maka di sini konsumen harus waspada dalam
menkonsumsi barang dan jasa yang ditawarkan pelaku usaha. Pada masa ini konsumen
tidak memiliki banyak peluang untuk memilih barang atau jasa yang akan
dikonsumsinya sesuai dengan selera, daya beli dan kebutuhan. Konsumen lebih
banyak dalam posisi didikte oleh produsen . Pola konsumsi masyarakat justru
banyak ditentukan oleh pelaku usaha dan bukan oleh konsumennya sendiri. Seiring
dengan perkembangan IPTEK dan meningkatnya tingkat pendidikan, meningkat pula
daya kritis masyarakat. Dalam masa yang demikian, pelaku usaha tidak mungkin
lagi mempertahankan strategi bisnisnya yang lama, dengan resiko barang atau
jasa yang ditawarkan tidak akan laku di pasaran. Pelaku usaha kemudian mengubah
strategi bisnisnya ke arah pemenuhan kebutuhan, selera dan daya beli pasar ( market
oriented ). Pada masa ini pelaku
usahalah yang harus waspada dalam
memenuhi barang atau jasa untuk konsumen. Dalam konteks ini pelaku usaha
dituntut untuk menghasilkan barang- barang yang kompetitif terutama dari segi
mutu, jumlah dan keamanan ( Johannes Gunawan, 1999 : 44 ).
Di dalam UUPK
antara lain ditegaskan,pelaku usaha berkewajiban untuk menjamin mutu barang dan
atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar
mutu barang dan atau jasa yang berlaku. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan
atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai
dengan standar yang dipersyaratkan. Ketentuan tersebut semestinya ditaati dan
dilaksanakan oleh para pelaku usaha. Namun dalam realitasnya banyak pelaku
usaha yang kurang atau bahkan tidak memberikan perhatian yang serius terhadap
kewajiban maupun larangan tersebut, sehingga berdampak pada timbulnya
permasalahan dengan konsumen
1.2 TINJAUAN PUSTAKA
Consumer is an
individual who purchases, or has the capacity to purchases, goods and services
offered for sale by marketing institutions in order to satisfy personal or
household needs, wants or desires. Sedangkan produsen diartikan
sebagai setiap penghasil barang dan jasa yang dikonsumsi oleh pihak atau
orang lain. Kata konsument (Belanda) oleh para ahli hukum
telah disepakati sebagai pemakai terakhir dari benda dan jasa (uitenindelijk
gebruiker van gordern en diesten) yang diserahkan kepada mereka oleh
pengusaha (ondernemer) / ( Prasetyo Hadi P, 1997 : 4 ).
Hubungan antara
pelaku usaha dengan konsumen dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung. Hubungan langsung terjadi apabila antara pelaku usaha dengan konsumen
langsung terikat karena perjanjian yang mereka buat atau karena ketentuan
undang-undang. Kalau hubungan itu terjadi dengan perantaraan pihak lain, maka terjadi hubungan tidak
langsung. Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen pada dasarnya
berlangsung terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan ini terjadi karena
keduanya saling membutuhkan dan bahkan saling interdependensi. Hubungan pelaku
usaha dengan konsumen merupakan hubungan hukum yang melahirkan hak dan
kewajiban.
JF. Kennedy
mengemukakan adanya empat hak dasar konsumen (JF. Kennedydalam Gunawan
Wijaya, 2000 : 27):
1. the right to safe products ;
2. the right to be informed about
products;
3. the right to definite choices is
selecting products ;
4. the right to be heard regarding
consumer interest.
Dalam
perkembangannya, oleh organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The
International Organization of Consumers Union (IOCU), empat hak
dasar tersebut ditambah dengan : hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk mendapatkan ganti rugi, dan
hak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat. Di dalam Rancangan Akademik Undang-Undang Perlindungan Konsumen
yang disusun Universitas Indonesia tahun 1992, hak dasar konsumen tersebut
dikembangkan dengan ditambah hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar
yang diberikan, dan hak untuk
mendapatkan penyelesaian hukum (
Prasetyo HP, 1997 : 6 ).
Pada prinsipnya
ketentuan yang mengatur perlindungan hukum konsumen dalam aspek hukum perdata,
diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1365 KUH Perdata. Pasal 1320
KUH Perdata mengatur bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat,
yaitu :
1. Kata
sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya (toestemming van dengenen
die zich verbiden )
2. Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om een verbintenis aan te gaan);
3.
Suatu
hal tertentu (een bepaald onderwerp); dan
4.
Suatu
sebab yang halal (een geloofde oorzaak).
Sedangkan Pasal
1365 KUH Perdata mengatur syarat-syarat untuk menuntut ganti kerugian akibat
perbuatan melanggar hukum yang menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum,
yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.
Dari sisi
kepentingan perlindungan konsumen, terutama untuk syarat ‘kesepakatan’ perlu
mendapat perhatian, sebab banyak transaksi antara pelaku usaha dengan konsumen
yang cenderung tidak balance . Banyak konsumen ketika melakukan
transaksi berada pada posisi yang lemah. Suatu kesepakatan menjadi tidak ada
sah apabila diberikan karena kekhilafan, paksaan, atau penipuan. Selanjutnya
untuk mengikatkan diri secara sah menurut hukum ia harus cakap untuk berbuat
menurut hukum, dan oleh karenanya maka ia bertanggung jawab atas apa yang
dilakukan. Akibatnya apabila syarat-syarat atau salah satu syarat sebagaimana
disebutkan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut tidak dipenuhi, maka
berakibat batalnya perikatan yang ada atau bahkan mengakibatkan tuntutan
penggantian kerugian bagi pihak yang tidak memenuhi persyaratan tersebut
(Subekti, 1992;35 ).
Masalah tanggung jawab hukum perdata (civielrechtelijke
aanspraakelijkheid) dapat dilihat dari formulasi Pasal 1365 KUH Perdata
yang mengatur adanya pertanggungjawaban pribadi si pelaku atas perbuatan
melawan hukum yang dilakukannya (persoonlijke aansprakelijkheid ).
Di samping itu, undang-undang mengenal pula pertanggungjawaban oleh
bukan si pelaku perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur di
dalam Pasal 1367 KUH Perdata. Pasal ini menegaskan bahwa setiap orang
tidak saja bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh
perbuatannya sendiri , tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan oleh
perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, disebabkan oleh
barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Dari pasal ini
nampak adanya pertanggungjawaban seseorang dalam kualitas tertentu (kwalitatieve
aansprakelijkheid) (Mariana Sutadi , 1999:113).
Disamping itu,
di dalam UUPK juga telah diatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha
sebagaimana tercantum di dalam Pasal 19. Menurut pasal ini pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan. Dengan demikian, secara normatif telah ada ketentuan yang
mengatur tanggung jawab pelaku usaha, sebagai upaya melindungi pihak konsumen.
Secara teoritik,
di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) diatur beberapa macam
tanggung jawab ( liability ) sebagai berikut ( J. Gunawan, 1999 : 45-46
)
1)
Contractual Liability
Dalam hal
terdapat hubungan perjanjian (privity of contract) antara pelaku usaha
(barang atau jasa) dengan konsumen, maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan
pada Contractual Liability (Pertanggungjawaban Kontraktual), yaitu
tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian/kontrak dari pelaku usaha, atas
kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkannya
atau memanfaatkan jasa yang diberikannya. Selain berlaku UUPK, khususnya
ketentuan tentang pencantuman klausula baku sebagaimana diatur dalam Pasal 18
UUPK, maka tanggung jawab atas dasar perjanjian dari pelaku usaha, diberlakukan
juga hukum perjanjian sebagaimana termuat di dalam Buku III KUH Perdata.
2)
Product Liability
Dalam hal tidak
terdapat hubungan perjanjian (no privity of contract) antara pelaku
usaha dengan konsumen, maka tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada Product
Liability (Pertanggungjawaban Produk), yaitu tanggung jawab perdata secara
langsung (Strict Liability ) dari pelaku usaha atas kerugian yang
dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkannya.
3)
Professional Liability
Dalam hal tidak
terdapat hubungan perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen, tetapi
prestasi pemberi jasa tersebut tidak terukur sehingga merupakan perjanjian
ikhtiar (inspanningsverbintenis), maka tanggungjawab pelaku usaha
didasarkan pada Professional Liability (Pertanggungjawaban
Profesional), yang menggunakan tanggungjawab perdata secara langsung (Strict
Liability) dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat memanfaatkan
jasa yang diberikannya. Sebaliknya, dalam hal terdapat hubungan perjanjian
antara pelaku usaha dengan konsumen, dan prestasi pemberi jasa tersebut terukur
sehingga merupakan perjanjian hasil (resultaants verbintennis), maka
tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada Professional Liability ,
yang menggunakan tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian (Contractual
liability) dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen
akibat memanfaatkan jasa yang diberikannya.
4)
Criminal Liability
Dalam hal
hubungan pelaku usaha dengan negara dalam memelihara keselamatan dan keamanan
masyarakat ( baca: konsumen), maka tanggungjawab pelaku usaha didasarkan pada Criminal
Liability (pertanggungjawaban pidana), yaitu tanggungjawab pidana dari
pelaku usaha atas terganggunya keselamatan dan keamanan masyarakat (konsumen).
Dalam jual beli property
terdapat perjanjian antara pengembangan perumahan dengan konsumen. Oleh karena
itu tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada Contractual Liability, yaitu
tanggungjawab perdata atas dasar perjanjian / kontrak dari pelaku usaha, atas
kerugian yang dialami konsumen akibat membeli rumah dari pengembangan.
1.3 DAFTAR PUSTAKA
A.Z. Nasution .
1990. “Sekilas Hukum Perlindungan Konsumen “. Hukum dan Pembangunan.
Nomor 6 Tahun XVIII. Desember 1990. Jakarta : Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
—————————. 1999.
Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta : Daya Widya.
Gunawan Widjaya.
2000. Hukum tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
Hady Evianto.
1999. “Hukum Perlindungan Konsumen Bukanlah Sekedar Keinginan Melainkan Suatu Kebutuhan”.
Hukum dan Pembangunan. Nomor 6 Tahun XVIII. Desember 1990. Jakarta : Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.
Husni Syawali.
2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung : Mandar Maju.
Johannes
Gunawan. “ Tanggungjawab Pelaku Usaha Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen” Jurnal Hukum Bisnis. Volume 8 Tahun 1999.
Jakarta : Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis.
Mariam Darus
Badrulzaman. 1986. Perlindungan Konsumen Dilihat Dari Sudut Perjanjian Baku
(Standar). Jakarta : Binacipta.
Mariana Sutadi.
1999. Tanggungjawab Pengusaha Dalam Hal Terjadi Kecelakaan Lalu Lintas.
Yogyakarta : Kiberty.
Prasetyo Hadi
Purwandoko. 1997. “Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen”. Makalah,
Disampaikan Pada Seminar Nasional Perlindungan Konsumen Dalam Era Pasar bebas.
Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UNS, Tanggal 15 Maret 1997.
Samsi Haryanto.
1999. “Penelitian Kualitatif” Makalah. Disampaikan pada Penataran
Penelitian, Tanggal 11-12 Nopember 1999. Surakarta : Fakultas Hukum UNS.
Shidarta. 2000. Hukum
Perlindungan Konsumen di Indonesia. Jakrta : Grasindo.
Subekti. 1992. Hukum
Perjanjian . Jakarta : Pradnja Paramita.
Sutopo HB. 1990.
“Metodologi Penelitian Sosial. Penopang Teoritik dan Karakteristik Penelitian
Kualitatif”. Makalah. Disampaikan pada Training Penelitian Bidang
Sosial. Surakrta : Fakultas Hukum UNS.
—————. 1991.
“Metodologi Penelitian Kualitatif. Pemahaman Lewat Karakteristik dan teori Pendukungnya”.
Makalah. Disampaikan pada Diskusi Dosen Fakultas hukum UNS. Surakarta :
fakultas hukum UNS.
Yusuf Shofie.
2000. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya. Bandung :
Citra Aditya Bakti.
Zumrotin. 1997.
“Problematika Perlindungan Konsumen di Indonesia, Sekarang dan yang Akan
Datang”. Makalah. Disampaikan Dalam Seminar Nasional Perlindungan
Konsumen Dalam Era Pasar Bebas Tanggal 15 Maret 1997. Surakarta : Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 42. Tahun 1999.
Kelas : 2EB12
Nama Kelompok :
1.
Anggi
Adrian Wicaksono (20212901)
2.
Anne
Rahma Safitri (22212947)
3.
Dian
Octaviana (22212029)
4.
Fina
Kurnia KD (22212959)
No comments:
Post a Comment