PERLINDUNGAN HAK-HAK KONSUMEN TERHADAP
PENGGUNAAN PRODUK PROVIDER TELEKOMUNIKASI
DI INDONESIA
Adery
P. Winter
2.1
PEMBAHASAN
1.
Hak-hak Konsumen produk provider telekomunikasi
di Indonesia
Berbicara
tentang Hak-Hak Konsumen tentunya tidak terlepas dengan Kewajiban Pelaku Usaha,
lebih lanjut lagi membicarakan tentang Hak Konsumen dan Kewajiban Pelaku Usaha
tentunya tidak akan terlepas dengan Kewajiban Konsumen dan Hak Pelaku Usaha.
Sehubungan dengan Hak dan Kewajiban Konsumen serta Hak dan Kewajiban Pelaku
Usaha, hal ini telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Hak-hak konsumen adalah hak-hak yang bersifat universal.
J.F Kennedy menentukan ada empat Hak Dasar konsumen, adalah sebagai berikut:
a. Hak
memperoleh keamanan (the tight to safety);
b. Hak
memilih (the right to choose);
c. Hak
mendapat informasi (the right to be informed);
d. Hak
untuk didengar (the right to be heard).
Oleh
Undang-undang Nomor 8 Thun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 4
secara eksplisit memuat delapan hak konsumen, sementara satu hak yang terakhir
dirumuskan secara terbuka. Maka Berangkat dari Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yang menjadi Hak-hak Konsumen produk provider telekomunikasi,
adalah sebagai berikut:
a. Hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa;
b. Hak
untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang/dan atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak
atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
d. Hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. Hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak
untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. Hak
untuk mendapatkan disepensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, jika barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
i.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
PerUndang-undangan yang lain.
Selanjutnya
di samping hak-hak Konsumen produk provider telekomunikasi tersebut di
atas, Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen juga mengatur tentang
Kewajiban konsumen yaitu:
a. Membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. Membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Demi
untuk memberikan kepastian hukum dan kejelasan akan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban para pihak, maka undang-undang Perlindungan Konsumen telah
memberikan peraturan mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari konsumen dan
pelaku usaha. Undang-undang Perlindungan Konsumen juga mengatur hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dari pelaku usaha. Pasal 6 Undang-undang Perlindungan
Konsumen, menyatakan Hak penyelenggara produk provider telekomunikasi di
Indonesia sebagai pelaku usaha, adalah:
a. Hak
menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai
tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. Hak
untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik;
c. Hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
d. Hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan PerUndang-undangan lainnya.
Selanjutnya
Pasal 7 Undang-undang Perlindungan Konsumen menyatakan Kewajiban penyelenggara
produk provider telekomunikasi di Indonesia sebagai pelaku usaha,
adalah:
a.
Beritikad baik;
b.
Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan
penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
c.
Memperlakukan atau melayani konsumen secara
benar dan jujur serta tidak diskrimanatif;
d.
Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang
diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
e.
Memberi kesempatan kepada konsumen untuk
menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
f.
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian apabila baran dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian;
h.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapatlah
dikatakan bahwa tujuan daripada Undang-undang Perlindungan Konsumen, adalah
untuk;
i.
Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan
kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya;
j.
Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan
cara menghindarkannya dari ekses negatif terhadap pemakaian barang dan/atau
jasa;
k.
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam
memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
l.
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengancung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi, serta akses untuk
mendapatkan informasi;
m.
Membubuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai
pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
n.
Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang
menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
Ketidak-berpihakan
terhadap konsumen menunjukkan lemahnya pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 dalam memberikan peluang keadilan di dalam penegakan Hak dan Kewajibang
Pelaku Usaha dan Konsumen dalam transaksi Barang.
Para
prinsipnya persaingan antar operator ini berpijak pada tiga hal, yaitu harga
yang murah, kelengkapan fasilitas dan kualitas pelayanan. Masing-masing mereka
berlomba mengiklankan produk dengan berbagai kelebihan yang dipunyainya.
Hasilnya memang luar biasa, pasar ponsel mengalami booming kartu
prabayar. Terjadinya booming seperti itu jelas akan diikuti oleh dampak lain
yaitu munculnya gejala kanibalisme. Pelanggan sistem abonemen karena alasan
tertentu beralih menjadi pengguna sistem prabayar. Baik dalam satu operator
yang sama maupun pindah ke operator yang lain. Dari fenomena ini mungkin timbul
pertanyaan, mengapa orang begitu memburu prepaid. Sudah bijaksanakah langkah
mereka? Mana yang sebenarnya lebih efisien, sistem post pain (berlangganan)
atau prepaid (kartu prabayar)?.
Kartu
prabayar lebih praktis, setelah bayar langsung (membeli kartu) bisa digunakan.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem berlangganan yang memerlukan syarat
administrasi yang berbelit – belit. Namun alasan utama mengapa orang memilih
menggunakan prabayar daripada berlangganan bulanan, tentu ada pertimbangan
ekonomis, yaitu ingin menggunakan ponsel secara terkendali sehingga beban
pembayaran lebih bisa dihemat. Tapi anehnya, banyak kasus ditemukan, seorang
yang menggunakan kartu parabayar bukanya lebih hemat, sebaliknya malah semakin
boros.
Bertolak
dari fakta tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa yang murah itu belum tentu
efisien, tapi yang efisien itu pasti murah. Dengan demikian, apalah artinya
harga prabayar yang murah jika pada saat digunakan sering terputus, atau
kualitas suaranya jelek, cakupnya terbatas, dan sebagainya. Masyarakat umumnya
sering terjebak pada kesan pertama, dengan harga murah, sering terjebak pada
kesan pertama, dengan harga murah, tetapi kualitasnya tidak dapat memuaskan
penggunanya.
Semenjak
awal memang keberadaaan prabayar diperuntukan bagi segmen tertentu, seperti
wisatawan, mahasiswa, pebisnis, dan sebagainya. Para pengguna prabayar ini
diperkirakan mereka yang pemakaian tiap bulannya dibawah Rp. 150.000,-
sedangkan yang lebih dari itu disarankan untuk menjadi pelanggan ponsel
(abonemen). Bahkan bagi kelompok masyarakat tertentu berlaku satu dogma, bahwa
mereka “tidak pantas” jika menggunakan ponsel dengan sistem prabayar
2.
Tanggung Jawab Penyelenggara Produk Provider
Telekomunikasi di Indonesia
Asas-asas
dan kaidah-kaidah hukum umum yang dapat diterapkan dalam Hukum Perlindungan
Konsumen antara lain termuat dalam peraturan perundang-undangan hukum perdata
tertulis dan tidak tertulis (seperti asas keterbukaan), Hukum Pidana tercantum
dalam KUHP dan di luar KUHP (Asas Praduga Tidak Bersalah), Hukum Administrasi
dan Hukum Internasional (Hukum Perdata Internasional).
Isue
perlindungan konsumen merupakan suatu hal yang ada keterkaitannya dengan dunia
usaha yang mengglobal. Hal ini jelas terlihat secara tekstual dalam salah satu
konsideran Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
dalam pertimbangan butir (c) menegaskan, bahwa semakin terbukanya pasar
nasional sebagai akibat globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan
kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang
dan atau jasa yang diperolehnya di pasar. Selanjutnya, dalam butir (d)
ditegaskan, bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu
meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian
konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh-kembangkan sikap pelaku usaha
yang bertanggung jawab.
Berdasarkan
rumusan demikian, dapat dikatakan bahwa pertanggung-jawaban hukum adalah: Suatu
keadaan wajib atau kewajiban untuk menanggung segala sesuatu secara hukum jika
terjadi sesuatu yang boleh dituntut, dipersalahkan ataupun diperkirakan sebagai
akibat dari sikap pihak sendiri. Transaksi konsumen merupakan suatu perikatan,
yaitu: perikatan keperdataan. Dalam kaca mata hukum perdata, perikatan
transaksi konsumen itu tidak serta merta terjadi begitu saja. Perikatan
konsumen merupakan pelaksanaan dari perikatan sebelumnya, yang dapat disebut
pratransaksi konsumen. Setelah transaksi konsumen dilaksanakan, masih ada
perikatan lain yang harus dipenuhi kedua belah pihak, yang dapat disebut pasca
transaksi konsumen atau transaksi purnajual.
Prinsip
tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting yang harus diperhatikan
oleh Penyelenggara Produk Provider Telekomunikasi dalam masalah
perlindungan konsumen, karena diperlukan kehati-hatian dan analisis siapakah
yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan
kepada pihak-pihak terkait, yaitu Penyelenggara Produk Provider Telekomunikasi
sebagai pelaku usaha. Pertanggung jawaban produk merupakan pertanggungjawaban
dari kaum produsen atau Penyelenggara Produk Provider Telekomunikasi
sebagai pelaku usaha terhadap kerugian yang disebabkan barang-barangnya yang
telah diserahkan/dipasarkan. Tanggung jawab produk disebabkan oleh keadaan
tertentu produk (cacad atau membahayakan orang lain).
Dengan
kata lain tanggung jawab produk timbul sebagai akibat dari “product schade”
yaitu kerugian yang disebabkan oleh barang-barang produk, yang dipasarkan oleh
produsen. Tuntutan/gugatan kerugian konsumen terhadap produsen secara hukum
perdata dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yakni :
a. Kerugian
transaksi (transactie schade) yaitu kerugian yang timbul dari jual beli barang
yang tidak sebagaimana mestinya akibat dari wanprestasi.
b. Kerugian
produk (product schade) yaitu kerugian yang langsung atau tidak langsung yang
diderita dari hasil produksi, kerugian mana masuk dalam resiko produksi akibat
dari perbuatan yang melawan hukum.
Selanjutnya
yang dimaksud tanggung gugat produk yang cacat dapat dirumuskan sebagai
berikut: produk cacat adalah apabila produk itu tidak aman dalam penggunaanya,
tidak memenuhi syarat-syarat keamanan tertentu sebagaimana diharapkan orang,
dengan ,mempertimbangkan berbagai keadaan, terutama tentang: (a) penampilan
produk, (b) kegunaan yang sepatutnya diharapkan dari produk, dan (c) saat
produk tersebut diedarkan.
Selanjutnya
tanggung jawab Penyelenggara Produk Provider Telekomunikasi sebagai
pelaku usaha timbul karena adanya hubungan antara produsen dengan konsumen yang
secara eksplisit terdapat tanggung jawab masing-masing. Karena hubungan antara
Penyelenggara Produk Provider Telekomunikasi sebagai pelaku usaha dengan
konsumen merupakan suatu hubungan dalam rangka keterkaitan antara satu dengan
yang lain, atas dasar latar belakang yang berbeda.
Penyelenggara
Produk Provider Telekomunikasi sebagai pelaku usaha melakukan kontak
dengan konsumen berdasarkan adanya tujuan tertentu yang sudah direncanakan
(termasuk keuntungan sebanyak-banyaknya dengan peningkatan produktifitas dan
efisiensi), sedangkan konsumen mempunyai hubungan dengan produsen didasarkan
adanya tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup. Pertanggungjawaban Penyelenggara
Produk Provider Telekomunikasi sebagai pelaku usaha terhadap
barang-barang konsumen apabila :
a. Konsumen
menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan jasa yang diproduksi oleh
produsen.
b. Produk
cacat dan berbahaya dalam pemakaian secara normal.
c. Bahaya
teerjadi tetapi tidak diketahui sebelumnya.
Ada
3 (tiga) ciri dari pemasaran barang-barang produksi yang merupakan sifat
melawaan hukum yaitu :
a. Memasarkan
barang-barang berbahaya yang tidak masuk akal (atau seharusnya tidak dipasarkan
= onredelijk).
b. Keadaan
dan proses yang melengkapi adanya perbuatan yang melawan hukum (misalnya
kesalahan dalam konstruksi, pembuatan, pemasangan, pengawasan, instruksi dan
lain-lain).
c. Pemakaian
secara normal dari barang itu dan percaya betul dari keadaan yang baik dari
barang itu.
3.
Sistem Penegakan Hukum Terhadap
Penyalahgunaan dalam Penyelenggaraan Produk Provider Telekomunikasi di
Indonesia
Dalam
rangka mewujudkan bekerjanya hukum sebagai kontrol sosial dan ketertiban
masyarakat, maka hukum tidak dapat bekerja sendiri secara otonomi, namun hukum
senantiasa harus dapat merespons terhadap hal-hal yang berkembang di
lingkungannya. Dengan kata lain hukum di tuntut untuk bersifat responsif. Hukum
merupakan perkumpulan ide-ide, nilai-nilai, dan konsep–konsep adalah bersifat
abstrak, dan untuk mewujudkannya sebagai pranata dalam kehidupan diperlukan
proses yang sangat dipengaruhi oleh: 1) manusia, dalam hal ini pembuat
Undang-Undang, aparat penegak hukum (birokrasi), 2) struktur masyarakat, dan 3)
lembaga/organisasi. Dari ke 3 (tiga) unsur di atas, dalam implementasinya tidak
dapat lepas dari pengaruh lingkungan (environtment) yang berupa pola dan
tingkah laku tertentu dari masyarakat.
Hukum
dalam menjalankan fungsinya sebagai pengatur kehidupan bersama, hukum harus
menjalani suatu proses yang panjang dan melibatkan berbagai aktifitas dengan
kualitas yang berbeda-beda. Pada garis besarnya aktifitas tersebut dengan
kualitas yang berbeda-beda. Pada garis besarnya aktifitas tersebut berupa
pembuatan hukum dan penegak hukum. Hukum dalam pengertian disini bukanlah hukum
dalam pengertian luas, tetapi hukum dalam pengertian positif yaitu peraturan
tertulis atau perundang-undangan yang berlaku di suatu tempat, dalam hal ini di
Indonesia.
Posisi
kita sekarang pada tahap ke 4 dan ke 5 yakni pemenuhan kelembagaan / organisasi
dan mekanisme bekerjanya suatu perundang-undangan. Dengan kata lain tahap 1, 2
dan 3 merupakan aspek pemenuhan bahan hukum dan tahap 4 dan 5 merupakan aspek
struktur hukum dan pemberdayaan hukum.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi penegakan hukum perlindungan konsumen terhadap, antara lain :
a. Faktor
hukumnya sendiri, yakni peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
perlindungan konsumen.
b. Faktor
penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum
(pemerintah dan aparat penegak hukum).
c. Faktor
sarana dan prasarana yang mendukung penegak hukum.
d. Faktor
masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau di terapkan.
Dalam hal ini adalah mencakup masyarakat konsumen dan masyarakat produsen.
e. Faktor
budaya, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia dari dalam pergaulan hidup.
Kelima
faktor diatas, saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi
dari penegak hukum, serta merupakan tolok ukur dari efektifitas penegak hukum
sesuai dengan teori proses penegak hukum. Faktor hukumnya sendiri, dalam
konteks ini yang dimaksud adalah hukum perlindungan konsumen, secara terus
menerus harus dilakukan sosialisasi agar masyarakat betul-betul memahami
keberadaan Undang-Undang perlindungan konsumen dan melaksanakannya dalam
pergaulan hidup bersama. Undang-Undang perlindungan konsumen yang dilahirkan
dalam suasana reformasi diharapkan mempunyai daya responsibilitas yang tinggi
dalam arti mempunyai dampak yang positif, mencapai tujuannya secara efektif.
Selanjutnya
faktor sarana dan prasarana juga harus mendapatkan perhatian artinya tanpa
sarana dan prasarana yang memadai, maka tidak mungkin penegakan hukum akan
berlangsung dengan baik. Antara lain, mencakup tenaga manusia (Sumber Daya
Manusia) yang berpendidikan, terampil, organisasi dengan baik, peralatan yang
memadai, dan keuangan yang cukup. Faktor lainnya yakni masyarakat sebagai objek
dan subjek dari penegakan hukum.
2.2 PENUTUP
Ketidak-berpihakan
terhadap konsumen menunjukkan lemahnya pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 dalam memberikan peluang keadilan di dalam penegakan Hak dan Kewajiban
Pelaku Usaha dan Konsumen dalam transaksi Barang. Tataran lapangan menunjukkan
persaingan antar para pelaku usaha penyelenggara produk provider telekomunikasi
di Indonesia seringkali menyebabkan kerugian bagi konsumen. Tiga operator
ponsel GSM di Indonesia seakan-akan bersaing untuk merebut pelanggan atau
pengguna kartu prabayar yang dihasilkannya. Telkomsel, Satelindo, dan
Exelcomindo bersaing untuk memperebutkan pasar seluler dengan melempar produk
kartu prabaar (pre-paid) yang menawarkan keunggulan masing-masing.
Telkomsel lebih dulu melempar produknya dengan nama Simpati, Exelcomindo dengan
Pro-Xl, dan Satelindo dengan andalannya Mentari.
Bertolak
dari fakta tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa yang murah itu belum tentu
efisien, tapi yang efisien itu pasti murah. Dengan demikian, apalah artinya
harga prabayar yang murah jika pada saat digunakan sering terputus, atau
kualitas suaranya jelek, cakupnya terbatas, dan sebagainya. Masyarakat umumnya
sering terjebak pada kesan pertama, dengan harga murah, sering terjebak pada
kesan pertama, dengan harga murah, tetapi kualitasnya tidak dapat memuaskan
penggunanya.
2.3 DAFTAR
PUSTAKA
Campbell Dannis (ed), Law of
International On-Line Business A Global Prespective. Published Under The
Auspices of the Center For International Legal Studies. Sweet & Maxwell.
London, 1998
Damian Eddy dalam Hukum hak Cipta Penerbit
PT Alumni, Bandung, 2003
Dimatteo Larry A. International
Sales Law A Critical Analysis of CISG Jurisprudance, Cambridge University
Press, 2005
Friedmann W., Legal Theory, Third
Edition, Stevens & Sons Limited, London.
Frederik Wulanmas, Aktualisasi
Hukum Perlindungan Konsumen, Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 2010
Furmston M. P. dan A.
W. B. Simpson dalam Cheshire and fifoot’s of Contract, Tenth Edition,
London, Butterworths, 1981
…………………dalam Cheshire and Fofoot’s
Law of Contract, Butterworth, London
………………… Cheshire and
fofoot’s Law of Contract Butterwoths. Furmston London, 1981
Khairandy Ridwan dalam Pengakuan
dan Keabsahan Digital Signature dalam Perspektif Hukum Pembuktian. Jurnal
Hukum Bisnis. Volume 18, Maret 2002
Jurisprudence, Cambridge
University Press, 2005
Moss Giuditta Cordero, International
Contract Between Common Law and Civil Law; Is Non State Law to Be Preferred?
The Difficulty of Interprating Legal Standard Such as Good Faith. Global
Jurist. Advances. Volume 7, Issue 1. Article 3.
Ramli Ahmad, Cyber
Lw & HaKI dalam Sistem Hukum Indonesia, Penerbit Refika Aditama,
Bandung, 2004
Ramli Ahmad, Prinsip
– prinsip Cyber Law dan Kendala Hukum Positif dalam Menanggulangi Cyber Crime. Modul
E-Leaning, Makalah Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Jakarta 30 Desember
2004
Saydam Gouzali, Sistem Telekomunikasi
di Indonesia, Bandung, Penerbit Alfabeta, 2003
Stein yang disadur
Mariam Darus BAdrulzaman dalam Aneka Hukum Bisnis, Penerbit PT Alumni,
Bandung, 1994.
Subekti, Aneka Perjanjian, Penerbit
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989
Subrata dalam
disertasinya yang bertema; Kejahatan SIber Transnasional dalam Perspektif
Hukum Nasional dan Hukum Internasional 2006 Pengalaman Indonesia I
Sutan Renny Sjahdeini, Sistem
Pengamanan E-Commerce. Jurnal Hukum Bisnis. Volume 18, Maret 2012
Widjaya Gunawan dan
Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2000
Kelas : 2EB12
Nama Kelompok :
1.
Anggi
Adrian Wicaksono (20212901)
2.
Anne
Rahma Safitri (22212947)
3.
Dian
Octaviana (22212029)
4.
Fina
Kurnia KD (22212959)
No comments:
Post a Comment