Manajemen Laba Corporate
Social Responsibility (CSR), Good
Corporate Governance (GCG), dan Asimetris Informasi
Ada
alasan mendasar mengapa manejer melakukan menajemen laba. Harga pasar saham
suatu perusahaan secara signifikan dipengaruhi oleh laba, resiko, dan
spekulasi. Oleh sebab itu, perusahaan yang labanya selelu mengalami kenaikan
dari period eke periode secara konsisten akan mengakibatkan risiko perusahaa
ini mengaam penurunan lebih besar dibandingkan prosentase kenaikan laba. Hal
inilah mengakibatkan banyak perusahaan yang melakukan pengelolaan dan
pengaturan laba sebagai salah satu upaya untuk menguragi risiko.
Manajemen
laba dapat dikatakan sebagai perilaku manajer untuk bermain-main dengan
komponen akrual yang discretionary untuk
menentukan besar kecilnya laba, sebab standar akuntansi memang menyediakan
berbagai alternatif metode dan prosedur yang bisa dimanfaatkan. Upaya ini
diakui dan diperbolehkan dalam standar akuntansi selama apa yang diungkapkan
secara jelas dalam laporan keuangan. Meski kewajiban untuk engungkapkan semua
metode dan prosedur akuntansi ini belum mampu untuk mengeliminasi upaya-upaya
curang manajer untuk memaksimalkan keuntungan untuk dirinya sendiri.
A.
CSR (Corporate Social Responsibility)
Singkatan dari Corporate
Social Responsibility atau Tanggung Jawab
social perusahaan, telah menjadi isu harian atau isu yang familiar. Saat
ini, para pelaku usaha tidak bisa untuk tidak memikirkan manajemen CSR, tidak
hanya memikirkan, tetapi juga mengerti, memahami, dan mencintai CSR sebagai
bagian dari perusahaan yang tercermin dari kebijakan, strategi, dan perilaku
menjalankan usaha. Untuk itulah, pemangku kepentingan dan pelaku usaha harus
memahami dan mencintai CSR sehingga tercermin perusahaan dalam menjalankan
usahanya.
Ada
banyak pengertian CSR, seperti salah satunya yang menyatakan bahwa CSR (Corporate Social Responsibility) adalah
suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan
perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggung jawab mereka terhadap social/lingkungan
sekitar perusahaan berada. Contoh dari bentuk tanggung jawab itu dapat
bermacam-macam, mulai dari melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan memperbaiki lingkungan, pemberian beasiswa untuk
anak yang tidak mampu, pemberian dana untuk pemeliharaan fasilitas umum, serta
sumbangan untuk desa/fasilitas masyarakat yang bersifat social dan berguna
untuk masyarakat banyak, khususnya masyarakat yang berada disekitar perusahaan
tersebut. CSR (Corporate Social
Responsibility) merupakan fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi
kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya.
CSR timbul sejak era saat kesadaran akan sustainability
perusahaan jangka panjang lebih penting daripada sekedar profitability
Motivasi manajemen laba di atas mengindikasikan
secara eksplisit praktik manajemen laba yang disengaja oleh manajer, yang pada
akhirnya membawa konsekuensi negatif terhadap shareholders, karyawan,
komunitas dimana perusahaan beroperasi, masyarakat, karier dan reputasi manajer
yang bersangkutan. Salah satu konsekuensi paling fatal akibat tindakan
manajemen yang memanipulasi laba adalah perusahaan akan kehilangan dukungan
dari para stakeholders-nya. Stakeholder akan memberikan respon
negatif berupa tekanan dari investor,
sanksi dari regulator, ditinggalkan rekan kerja, boikot dari para
aktivis, dan pemberitaan negatif media massa. Tindakan tersebut wujud
ketidakpuasan stakeholders terhadap kinerja perusahaan yang
dimanipulasi, dan pada akhirnya berimbas merusak reputasi perusahaan di pasar modal.
Oleh karena itu, manajer menggunakan
suatu strategi pertahanan diri (entrenchment strategy) untuk
mengantisipasi ketidakpuasan stakeholder-nya ketika ia melaporkan kinerja
perusahaan yang kurang memuaskan. Strategi pertahanan diri manajer tersebut sebagai
upaya untuk tetap mempertahankan reputasi perusahaan dan melindungi karier
manajer secara pribadi. Salah satu cara yang digunakan manajer sebagai strategi
pertahan diri adalah mengeluarkan kebijakan perusahan tentang penerapan Corporate
Social Responsibility (CSR). CSR berkaitan dengan persoalan etika dan moral
mengenai pembuat keputusan kebijakan dan perilaku, seperti menempatkan
persoalan komplek terhadap penjagaan pelestarian lingkungan, manajemen sumber
daya manusia, kesehatan dan keamanan kerja, hubungan dengan komunitas lokal,
dan menjalin hubungan harmonis dengan pemasok dan pelanggan. Pengungkapan
informasi mengenai perilaku dan hasil berkenaan dengan tanggung jawab sosial
sangat membantu membangun sebuah citra (image) positif diantara para stakeholders.
Citra positif ini dapat membantu perusahaan untuk mendirikan ikatan komunitas
dan membangun reputasi perusahaan di pasar modal karena dapat meningkatkan
kemampuan mereka dalam menegosiasikan kontrak yang menarik dengan suplier dan
pemerintah, menetapkan premium prices terhadap barang dan jasa, dan
mengurangi biaya modal. Melalui
praktik CSR, perusahaan dapat menghasilkan lebih banyak perlakuan yang lebih
menguntungkan berkenaan dengan regulasi, serta mendapatkan dukungan dari
kelompok aktivis sosial, legitimasi dari komunitas industri, dan pemberitaan
positif dari media, yang pada akhirnya reputasi perusahaan tetap terjaga dengan
baik.
Pengungkapan
sosial perusahaan didefinisikan sebagai penyediaan informasi keuangan dan
non-keuangan yang berhubungan dengan interaksi organisasi dengan lingkungan
fisik dan sosial, sebagaimana dinyatakan dalam laporan tahunan atau laporan
sosial terpisah. Pengungkapan sosial perusahaan meliputi rincian dari
lingkungan fisik, energi, sumber daya manusia, produk dan hal-hal yang terkait
dengan kemasyarakatan.
The World
Business Council for Sustainable Development (WBCSD) mendefinisikan corporate social
responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan sebagai komitmen
bisnis untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan,
melalui kerjasama dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga
mereka, komunitas setempat maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas
kehidupan dengan cara yang bermanfaat, baik dari segi bisnis maupun untuk
pembangunan. Konsep CSR melibatkan tanggung jawab kemitraan antara pemerintah,
lembaga masyarakat, serta komunitas lokal yang bersifat statis. Kemitraan ini
sebagai bentuk tanggung jawab bersama secara sosial antara stakeholders.
Pengertian CSR berdasarkan ISO 26000, menyatakan bahwa CSR adalah Responsibility
of an organization or the impacs of its decision and activities on society and
environment, through transparent and ethical behavior that contributes to
sustainable development, healt and the welfare of society, takes into account
the expectations of stakeholders, is in compliance with applicable law and
conaiatent with international norms of behavior, and is integrated througt the
organization and practiced in its relationships.
Beberapa teori
yang melatarbelakangi perusahaan untuk melakukan pengungkapan sosial yaitu:
1). Decision
Usefulness Studies
Teori
ini memasukkan para pengguna laporan akuntansi yang lain selain para investor
ke dalam kriteria dasar pengguna laporan akuntansi sehingga suatu pelaporan
akuntansi dapat berguna untuk pengambilan keputusan ekonomi oleh semua unsur
pengguna laporan tersebut.
2). Economic
Theory Studies
Studi
ini berdasarkan pada economic agency theory. Teori tersebut membedakan
antara pemilik perusahaan dengan pengelola perusahaan dan menyiratkan bahwa
pengelola perusahaan harus memberikan laporan pertanggungjawaban atas segala
sumber daya yang dimiliki dan dikelolanya kepada pemilik perusahaan
3). Sosial
and Political Studies
Sektor ekonomi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan politik,
sosial, dan kerangka institusional
tempat ekonomi berada. Studi sosial dan politik mencakup dua teori
utama, yaitu stakeholder theory dan legitimacy theory.
Teori-teori lain
yang mendukung praktik CSR yaitu teori kontrak sosial. Teori tersebut menjelaskan
bahwa perusahaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari suatu komunitas.
Pengungkapan sosial dan lingkungan dapat secara khusus terdiri dari informasi
yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan, aspirasi, dan image publik yang
berkaitan dengan lingkungan, penggunaan karyawan, isu konsumen, energi,
kesamaan peluang, perdagangan yang adil, tata kelola perusahaan dan sejenisnya.
Pengungkapan sosial dan lingkungan juga dapat terjadi melalui berbagai media
seperti laporan tahunan, iklan, kelompok terarah, dewan karyawan, buklet,
pendidikan sekolah, dan sebagainya.
Saat ini, pemahaman atas tanggumg jawab social perusahaan (Corporate Social Responsibility) banyak
yang mengartikan charity, philanthropy, dan community development. Bahkan, tak
jarang tanggung jawab CSR tersebut hanya dibebankan pada bagian atau divisi
tertentu. Padahal kenyataannya kenyataannya, kegiatan-kegiatan CSR merupakan
suatu keputusan strategis menyeluruh.
Kegiatan-kegiatan CSR dalam bentuk charity, philanthropy, dan community development yang berkembang
saat ini di Indonesia masih merupakan kegiatan yang bersifat pengabdian kepada
masyarakat ataupun lingkungan yang berada tidak jauh dari lokasi tempat dunia
usaha melakukan kegiatannya. Seringkali kegiatan CSR belum dikaitkan dengan
tiga elemen yang menjadi kunci dari pembangunan berkelanjutan, yaitu aspek
keuangan, aspek social, dan aspek lingkungan yang biasa disebut triple bottom line. Sinergi dari ketiga
elemen tersebut merupakan kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development)
Konsep triple bottom line perlu dikembangkan dan diperluas
hingga menjadi kegiatan CSR yang benar-benar sustainable. Selain itu,
program CSR baru dapat menjadi berkelanjutan apabila program yang dibuat oleh
perusahaan benar-benar merupakan komitmen bersama segenap unsur yang ada
didalam perusahaan itu sendiri. Tanpa adanya komitmen dan dukungan dengan penuh
antusias dari karyawan, program-program tersebut bagaikan program penebusan
dosa dari pemegang saham belaka. Dengan melibatkan karyawan secara intensif
maka nilai dari program-program tersebut, akan memberikan arti tersendiri yang
snagat besar bagi perusahaan.
Walaupun sadar akan pentingnya CSR, peusahaan mengimplementasikan CSR
dengan menggunakan metode yang berbeda-beda. Implementasi yang dilakukan dengan
menggunakan model charity atau pemberdayaan. Perusahaan yang menggunakan model
charity hanya berpatok sekadar menghabiskan anggaran dan menafikkan
kebutuhan masyarakat. Model charity mendapat kritikan karena model
tersebut hanya menjadi candu bagi masyarakat dan membuat masyarakat tergantung
serta tidak berdaya.
Ketika model charity sudah mulai ditinggalkan maka model Community
Development (CD) pun hadir sebagai pilihan. Model CD dianggap mampu
meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat. Oleh Karena
itu, perusahaan seperti HESS, Exxon Mobil, Holcim, Freeport, PT Aneka Tambang,
dan Santos dalam melaksanakan program CSR mendasarkan pada kebutuhan
masyarakat. CSR yang berbasis CD mendasarkan pada kebutuhan masyarakat. CSR
yang berbasis CD juga memberikan nilai tambah kepada perusahaan, yaitu berupa Good
Cootporate Governance dan memberikan nilai positif bagi perusahaan di mata
public. CSR juga berguna sebagai ruang dialig antar pelaku usaha dengan
masyarakat sehingga terjadi hubungan simbiosis mutualisme antara perusahaan
dengan masyarakat.
Prinspi CSR sebenarnya telah lama terbentuk seiring dengan dimulainya
usaha bisnis itu sendir. Sejarah CSR adalah evolusi dan tarik menarik antara
bisnis sebagai makhluk yang serakah dan tergoda oleh moral hazard dengan
pebisnis sebagai manusia biasa yang mempunyai hati kemanusiaan dan sebagai
makhluk social berkeinginan untuk diterima secara utuh oleh lingkungannya.
Selain itu panggilan tanggung jawab, CSR juga telah dituntut oleh regulator
melalui regulasi mngenai cara berbisnis yang berorientasi jangka panjang.
Regulasi tentunya muncuk semenjak lahirnya bisnis dan adanya organisasi
pemerintahan sebagai regulator, maupun nilai-nilai budaya seperti kepercayaan
dan mitos yang sering disebut sebagai kearifan local.
Dalam penerapan CSR di Indonesia, perusahaan swasta maupun BUMN telah
bergabung dalam suatu forum yang dinamakan Corporate Forum for Community
Development (CFCD). Misi yang diemban adalah meningkatkan kesadaran umum
akan pentingnya program Community Development bagi perusahaan sebagai
bagian integral dari pembangunan masyarakat dan bangsa, sekaligus meningkatkan
apresiasi dan pemahaman masyarakat atas peran dan fungsi Corporate CD
dan CD officer. Pada level dunia, terdapat 175 prusahaan yang tergabung
dalam World Business Council Sustainable Development (WBCSD) yang mengangkat
isu community development, environment, livelihood, dan climate
exchange. Oleh karena itu, CSR tidak bisa lagi dipandang remeh dalam
peningkatan image perusahaan dan peningkatan bisnis.
Ditengah perjalan kemiskinan dan keterbelakangan yang di alami
Indonesia, pemerintah harus berperan sebagai coordinator penanganan krisis
melalui CSR. Pemerintah bisa menetapkan bidang-bidang penanganan yang menjadi
focus dengan masukan dari pihak yang kompeten. Setelah itu, pemerintah
memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan kepada kalangan bisnis dan
kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil dan
menghindarkan proses manipulasi atau pengancaman satu pihak terhadap yang lain.
Menurut Deegan (Chariri dan Ghozali, 2007
DalamTekla 2014) , alasan yang mendorong praktik pengungkapan tanggungjawab
sosial dan lingkungan, antara lain:
1.
Mematuhi persyaratan yang ada
dalam Undang-undang.
2.
Pertimbangan rasionalitas ekonomi.
3.
Mematuhi pelaporan dan proses
akuntabilitas.
4.
Mematuhi persyaratan peminjaman.
5.
Mematuhi harapan masyarakat.
6.
Konsekuensi ancaman atas
legitimasi perusahaan.
7.
Mengelola kelompok stakeholder tertentu.
8.
Menarik dana investasi.
9.
Mematuhi persyaratan industri.
10.
Memenangkan penghargaan pelaporan.
Menurut Kasmir (2010) dalam Tekla (2014), Ruang
lingkup Tanggung Jawab Sosial Perusahaan kepada masyarakat meliputi hal-hal
berikut :
1.
Perlindungan konsumen (product safety), bahwa produk yang diberikan
atau dijual kepada masyarakat harus menjamin aman untuk dikonsumsi. Hal ini
berarti perusahaan memberikan perlindungan terhadap kesehatan dan gizi
masyarakat, bahkan peningkatan kesehatan masyarakat.
2.
Pengendalian polusi (pollution control), dalam hal ini bahwa
kegiatan perusahaan tidak akan merusak lingkungan, baik terhadap air, tanah,
maupun udara. Keterlibatan perusahaan dituntut untuk mengontrol dan mengatasi
terhadap masalah lingkungan yang mungkin atau telah terjadi akibat aktivitas
perusahaan.
3.
Reinvest profit, perusahaan perlu melakukan
investasi dari laba yang mereka peroleh kepada dunia pendidikan, pemberdayaan
masyarakat sekitar usaha serta dukungan terhadap pelestarian lingkungan alam.
ISO 26000
Subjek-subjek fundamental dari Tanggung Jawab Sosial
menurut ISO 26000
Dalam Tekla (2014) pengungkapan CSR (Corporate Social Responsibility)
atau disebut juga dengan tanggung jawab sosial merupakan pengungkapan informasi
CSR yang terdapat pada laporan tahunan perusahaan. Instrumen
pengungkapan Corporate Social Responsibility menggunakan suatu daftar
pengungkapan tanggung jawab sosial yang dijabarkan ke dalam 78 item
pengungkapan yang telah disesuaikan dengan kondisi yang ada di Indonesia sesuai
dengan peraturan yang berlaku. 78 item tersebut dikelompokkan kedalam 7
kategori antara lain lingkungan,
energi, kesehatan dan keselamatan tenaga kerja, lain-lain tentang tenaga kerja,
produk, keterlibatan masyarakat, dan umum.
Perhitungan
untuk pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan adalah Pendekatan untuk
menghitung pengungkapan tanggung jawab sosial pada dasarnya menggunakan
pendekatan dikotomi dengan menggunakan variabel dummy, yaitu:
Score
0 : jika
perusahaan tidak mengungkapkan item pada daftar pertanyaan.
Score
1 : jika
perusahaan mengungkapkan item pada daftar pertanyaan.
B.
GCG
(Good Corporate Governance)
International Good Practice Guidance
(IFAC 2009) Corporate governance didefinisikan sebagai
serangkaian praktik dan tanggung jawab yang dilakukan oleh dewan (komisaris)
dan eksekutif manajemen dengan tujuan memberi arahan–arahan yang strategis, memastikan
bahwa tujuan yang diinginkan dapat tercapai,memastikan bahwa semua resiko dapat
dikelola dengan benar, dan memastikan bahwa sumber daya organisasi digunakan
secara bertanggungjawab. Shleifer dan Vishny (1997) menjelaskan bahwa Corporate
Governance adalah suatu cara atau mekanisme yang digunakan untuk
menyakinkan para memilik modal dalam memperoleh imbal hasil yang sesuai dengan
investasi yang ditanamkan.
The Organization for Economic
Corporation and Development (OECD) mengartikan Corporate
Governance adalah sistem yang digunakan untuk mengarahkan dan mengendalikan
kegiatan-kegiatan perusahaan. Corporate Governance berfungsi untuk
mengatur pembagian tugas, hak dan kewajiban mereka yang berperan terhadap
kehidupan perusahaan termasuk para pemegang saham, dewan pengurus, para manajer
dan semua anggota, stakeholder non pemegang saham.
Good corporate governance merupakan sebuah sistem tata kelola perusahaan yang berisi seperangkat
peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham , pengurus (pengelola)
perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang
kepentingan intern dan ekstern lainnya dalam kaitannya dengan hak-hak dan
kewajiban mereka atau dengan kata lain, suatu sistem dan struktur yang baik
untuk mengelola perusahaan dengan tujuan untuk meningkatkan nilai pemegang
saham serta mengakomodasi berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholder).
Apabila mekanisme good corporate governance tersebut dapat berjalan
dengan efektif dan efisien, maka seluruh proses aktivitas perusahaan akan
berjalan dengan baik, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan kinerja perusahaan
baik yang sifatnya kinerja finansial maupun non finansial akan juga turut membaik.
Pada tahun 1999 Organization for Economic
Co-Operation and Development (OECD) telah mengeluarkan seperangkat prinsip corporate
governance yang dikembangkan seuniversal mungkin. Hal ini mengingat bahwa
prinsip ini disusun untuk digunakan sebagai referensi di berbagai negara yang
mempunyai karakteristik sistem hukum, budaya, dan lingkungan yang berbeda.
Dengan demikian, prinsip yang universal tersebut akan dapat dijadikan pedoman
oleh semua negara atau perusahaan namun diselaraskan dengan sistem hukum,
aturan, atau nilai yang berlaku di negara masing-masing bilamana diperlukan.
Prinsip-prinsip corporate governance yang dikemukakan oleh OECD (2004)
yaitu:
1. Memastikan dasar
bagi kerangka corporate governance yang efektif (Ensuring The Basis
for an Effective Corporate governance Framework).
Kerangka corporate governance harus meningkatkan
pasar yang transparan dan efisien, konsisten dengan aturan hukum dan secara
jelas mengartikulasikan pembagian kewajiban antara pengawas, regulator dan
otoritas pelaksanan yang berbeda.
2. Hak-hak pemegang saham dan fungsi
kepemilikan kunci (The Rights of Shareholders and Key Ownership Functions)
Kerangka corporate governance harus melindungi dan
memfasilitasi penggunaan hak-hak pemegang saham.
3.
Persamaan perlakuan bagi pemegang
saham (The Equitable Treatment of Shareholders)
Kerangka coprporate governance harus memastikan
persamaan perlakuan bagi seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham
minoritas dan asing. Semua pemegang saham harus memiliki kesempatan untuk
memperoleh penggantian kembali secara efektif atas pelanggaran hak-hak mereka.
4. Peranan shareholder dalam corporate
governance (The Role of Stakeholders in Corporate governance)
Kerangka corporate governance harus mengakui hak-hak
stakeholder yang ditetapkan oleh hukum atau melalui mutul agreement dan
mendorong kerjasama aktif antara korporat dan stakeholder dalam menciptakan
kemakmuran, pekerjaan, dan perusahaan yang memiliki sustainable.
5. Pengungkapan dan transparansi (Disclosure
and Transparency)
Kerangka corporate governance harus memastikan bahwa
pengungkapan yang tepat waktu dan akurat telah dibuat atas semua hal yang
material menyangkut korporat, termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan,
dan pengelolaan perusahaan.
6. Kewajiban dewan (The
Responsibilities of the Board)
Kerangka corporate governance harus memastikan
pedoman strategis perusahaan, pengawasan yang efektif terhadap manajemen oleh
dewan, dan akuntabilitas dewan kepada perusahaan dan pemegang saham. Prinsip-prinsip
dasar good corporate governance ini diharapkan dapat dijadikan titik
acuan bagi para pemerintah dalam membangun framework bagi penerapan good
corporate governance. Bagi para pelaku usaha dan pasar modal,
prinsip-prinsip ini dapat menjadi pedoman dalam mengelaborasi best practices
bagi peningkatan nilai dan kelangsungan hidup perusahaan. Komite Nasional
Kebijakan Governance pada tahun 2006 telah mengeluarkan Pedoman Umum Good
Corporate Governance Indonesia. Pedoman GCG merupakan panduan bagi perusahaan
dalam membangun, melaksanakan dan mengkomunikasikan praktik GCG kepada pemangku
kepentingan. Dalam pedoman tersebut KNKG (Komite Nasional Kebijakan Governance)
memaparkan azas-azas GCG sebagai berikut :
·
Transparansi
(Transparency)
Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus
menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses
dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif
untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan
perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan
oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.
·
Akuntabilitas
(Accountability)
Harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan
wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai
dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang
saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang
diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
·
Responsibilitas
(Responsibility)
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta
melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat
terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan
sebagai good corporate citizen.
·
Independensi
(Independency)
Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG,
perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ
perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak
lain.
·
Kewajaran
dan Kesetaraan (Fairness)
Melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan
kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas
kewajaran dan kesetaraan.
C.
Asimetris
Informasi
Asimetri informasi
merupakan suatu keadaan dimana manajer memiliki akses informasi atas prospek
perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar perusahaan. Teori keagenan mengimplikasikan adanya asimetri informasi
antara manajer (agen) dengan pemilik (prinsipal). Jika kedua kelompok (agen dan
prinsipal) tersebut adalah orang-orang yang berupaya memaksimalkan utilitasnya,
maka terdapat alasan yang kuat untuk meyakini bahwa agen tidak akan selalu
bertindak yang terbaik untuk kepentingan prinsipal. Prinsipal dapat
membatasinya dengan menetapkan insentif yang tepat bagi agen dan melakukan
monitor yang didesain untuk membatasi aktivitas agen yang menyimpang.
Referensi
:
·
Nabar.
S., K.K. Boolert, dan U. Thai. 2007. Earnings management, investor protection, and national culture. Journal of International Accounting
Research.
·
Nurdizal M. Rachman.
Asep Efendi. & Emir Wicaksana. 2011. PANDUAN Perencanaan CSR. Depok:
Penerbit Swadaya.
·
Sulistyanto Sri.
Manajemen Laba Teori dan Model dan Empiris.
Penerbit: Grasindo
·
Tekla
Shintauli Lorentina. 2014. PENGARUH KINERJA KEUANGAN DAN CSR (CORPORATE SOCIAL
RESPONSIBILITY) TERHADAP NILAI PERUSAHAAN PT. UNILEVER INDONESIA Tbk. PERIODE
2003-2012. Jurnal Gunadarma
· Wulandari
Rahmita, 2013. Analisis Pengaruh Good Corporate Governance dan Leverage
terhadap Manajemen Laba, Jurnal Skripsi
Universitas Diponegoro